Kamis, 13 Oktober 2011

«» Give Me a Reason ® {2/2} «»

Author : Me aka Reni Yunhae Uknow
Main Cast : Lee Ji-Hee
                     Lee DongHae
Support Cast : Hwang Seul-Ra
                           Lee SungMin
                           Jung YunHo
                           Kim HeeChul
Genre : Fantasy-Romance / Straight
Rated : PG-16
Length : TwoShoot {2/2}
Disclaimer : Plot, ide cerita cmn milik author, kagak ada yang boleh protes! *langsung di tendang ke surga(?)*
karena ini hanya karangan fiktif belaka, suka-suka aku dong... mau tak bikin kayak gimana! Wkakaka... #Plakkk... *Langsung ditabok rame-rame*
=================


“Mulai saat ini sepertinya tugasku akan bertambah.” gumam Donghae, sesaat kemudian, dia membalikkan tubuhnya, “Ya... aku akan menugasi diriku sendiri, untuk selalu mengawasimu. Sampai saatnya tiba, aku akan menjemputmu.” Donghae mulai mengepakkan sayapnya, “Lee Ji-Hee... Oh sial! Ada yang bisa memberitahuku? Alasan yang tepat kenapa aku, Donghae, yang notabene adalah malaikat maut, bisa menciumnya seperti itu?” tanpa disadari, sebuah senyuman telah terukir di bibir Donghae.
Ini pertama kalinya bagi malaikat maut itu, menampakkan wajudnya di depan seorang manusia. Bukan hanya itu, ini pertama kalinya, dia meraskan sebuah emosi, yang meluap-luap, yang tidak seharusnya dimiliki oleh 'jenisnya'.
Untuk sesaat, Donghae kembali mengawasi sosok Ji-Hee, diantara hamparan langit biru.


Saat itu, terlihat sosok Ji-Hee, yang mulai sadar dari segala keterkejutannya. Dengan cepat, Ji-Hee mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah, mencari sosok namja yang telah menciumnya secara tiba-tiba.
Ji-Hee berlari, menyusuri jalan, yang menurutnya dilalui oleh Donghae, hingga sampai di ujung jembatan.
“Aish... kemana dia? Cepat sekali menghilangnya?” gerutu Ji-Hee.
Sejurus kemudian, dia kembali berlari, melangkahkan kakinya di jalan setapak yang sepi, matanya menjelajahin kawasan itu.
“Donghae-ssi... Lee Donghae-ssi...” Ji-Hee berteriak, memanggil nama namja yang di carinya, dengan napas yang mulai tersenggal.
Hingga akhirnya, dia menyerah, berjongkok di tengah jalan, berusaha mengatur napasnya yang mulai memburu.
“Siapa dia? Kenapa dia melakukan itu padaku? Dan lagi... kenapa … kenapa aku merasa berdebar-debar?” Ji-Hee memejamkan kedua matanya. “Apa aku bisa bertemu dengannya lagi? Aish! Apa yang kau pikirkan Lee Ji-Hee?” gumam Ji-Hee, sambil memukul kepalanya pelan.

Donghae hanya menyunggingkan senyumannya, menikmati sebuah tontonan manis(?), melihat semua gerak-gerik Ji-Hee, yang sedang mencari dirinya.
Pletekkk...
Sebuah jitakan mendarat dengan sempurna di kepala Donghae, hingga membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.
“Hya! Sungmin! Lagi-lagi kau! Bisakah kau berhenti menggangguku?”
Sungmin hanya berdecak kesal. “Jangan meributkan masalah sepele seperti itu!” Sungmin berkacak pinggang. “Kau sadar dengan apa yang kau lakukan?” Sungmin mengertakkan giginya. “Hya! Kau... kenapa kau berbuat seperti itu? Bisa-bisanya kau mencium seorang manusia?”
“Bukankah kau yang menyuruhku untuk menemuinya?”
“Iya! Untuk mencegahnya melakukan tindakan konyol. Bukan untuk menciumnya!” Sungmin memegang kepalanya. “Aish! Aku bisa gila!”
“Kenapa kau yang ribut?”
“Kau tanya kenapa? Hello... kau sedang melangkah di jalur yang salah Donghae! Tidak seharusnya kau... kau... memiliki perasaan khusus pada manusia.”
Donghae terkesiap, “Perasaan khusus?” gumamnya dalam hati. “Aku tidak ingin membicarakan masalah ini.” dengan cepat, Donghae mengepakkan sayapnya, terbang meninggalkan Sungmin.
“Hya! Donghae! Aish...” Sungmin berdecak kesal.

Pandangan mata Sungmin beralih pada sosok Ji-Hee, yang sedang duduk bersandar di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Dalam sekejap, Sungmin sudah berada di samping Ji-Hee, tanpa menunjukkan diri tentunya.
“Hahhh...” Sungmin menghela napas pelan, “Keinginanku masih tetap sama, menebarkan kebahagiaan di sekitarmu.”
Dengan Senyuman manisnya, Sungmin mulai memutar-mutar tangannya, menciptakan kabut transparat, tepat di atas kepala Ji-Hee.
“Selesai.” ujarnya dengan riang. “Semoga kau selalu bahagia Lee Ji-Hee.” Sungmin tersenyum penuh ketulusan.
Sungmin berjongkok di depan Ji-Hee, menompang dagu dengan kedua tangannya. “Tapi...” Sungmin mengerucutkan bibirnya. “Sebisa mungkin aku harus menjauhkan Donghae darimu. Karena... aku tidak mungkin membiarkannya terjerumus semakin dalam.”
==============

Ckelekkk...
Ji-Hee membuka pitu rumahnya, dan berjalan masuk denganlangkah gontai.
“Ji-Hee-ya... kau sudah pulang?” teriak Seulra dari arah dapur.
“Ne.” balas Ji-Hee, sedikit tidak bersemangat.
Dengan cepat, Seulra muncul di ambang pintu. Perlahan, Ji-Hee mulai terkekeh pelan, melihat pemampilan Seulra, celemek motif kotak-kotak, dan sebuah spatula di tangan kanannya.
“Kau baik-baik saja?” Seulra mengeryitkan dahi.
“Ne, aku baik-baik saja.” Ji-Hee memeluk tubuh Seulra.
“Kau kenapa?” tanya Seulra, di tengah kebingungannya.
Ji-Hee menghembuskan napas panjang. “Aku bersyukur karena ada kau di sini.”
“Kau ini bicara apa?” Seulra memukul lengan Ji-Hee pelan. “Cepat ganti baju, makanan sudah hampir siap.”

“Ehm... Seulra, kau... apa kau tidak berniat mencari pengganti Hyukie oppa?” tanya Ji-Hee dengan anda sedikit ragu-ragu.
“Untuk saat ini... tidak.” Seulra tersenyum simpul.
Ji-Hee mengigit bibir bawahnya. “Maaf, aku hanya... tidak ingin kau... merasa terikat dengan keluarga ini, kuharap kau bisa mencari kebahagiaanmu sendiri.”
“Well, sepertinya aku memang akan selalu terikat dengan keluarga ini.” Ji-Hee memiringkan kepalanya. “Aku sudah membicarakan ini dengan orang tuaku. Mulai besok, aku akan pindah ke rumah ini. Ehm... bolehkah aku menempati kamar Hyukie oppa?”
“Seulra...”
“Aku sudah tidak bisa... menyembunyikan ini lagi.” Seulra tersenyum kikuk.
“Maksudmu?”
Seulra menundukkan kepalanya, perlahan tangan kanannya menyentuh perutnya. Detik itu juga Ji-Hee membelalakkan matanya lebar.

“Maksudmu... kau...” Ji-Hee memeluk tubuh Seulra. “Kenapa tidak pernah memberitahuku?” Ji-Hee tersenyum penuh ketulusan, tanpa disadari, setetes air mata telah jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku bingung, bagaimana cara yang tepat untuk memberitahumu.” Seulra menggaruk-garuk pelipisnya.
“Oppa mengetahuinya?”
Seulra menggeleng pelan. “Hyukie oppa bahkan tidak sempat mengetahuinya.” Seulra tersenyum miris. “Kau ingat waktu kepergian oppa, aku pingsan bukan? Saat itulah aku baru mengetahui keberadaannya.” Seulra mengusap-usap perutnya dengan lembut. “Setidaknya... aku masih memiliki ikatan dengan Hyukie oppa. Dia meninggalkan sesuatu yang sangat berharga.”
Ji-Hee menatap wajah Seulra penuh haru. “Sudah berapa bulan?”
“Sekarang... jalan empat bulan.” Seulra tersenyum malu-malu.
“Terima kasih...” bisik Ji-Hee lirih. “Oppa... terima kasih karena kau... tidak benar-benar meninggalkanku. Kau tenang saja oppa, aku akan mengantikanmu menjaga Seulra.” gumam Ji-Hee dalam hati.
==============

Seminggu Kemudian...


Hari semakin malam, udara semakin dingin.
Terlihat seorang yeoja, yang saat ini berada di atas tempat tidur, sedang terlelap dalam mimpi panjangnya.
Perlahan, terlihat sosok namja, yang tiba-tiba muncul, berdiri tepat di samping tempat tidur yeoja itu. Namja itu menatap wajah yeoja itu lekat-lekat, sesaat kemudian, tangannya terulur, mengusap rambut panjang yeoja itu.
“Lee Ji-Hee...” bisik namja itu lirih.
Benar yeoja itu adalah Lee Ji-Hee, dan sosok namja itu... tidak lain adalah Lee Donghae, sang malaikat maut. Sejak insiden ciuman itu, Donghae tidak pernah sekalipun menampakkan batang hidungnya di depan Ji-Hee. Namun... hampir setiap malam, secara diam-diam, Dongahe selalu mencuri kesempatan untuk melihat keadaan Ji-Hee, melihat wajah polos yeoja itu, saat sedang berpetualang di alam mimpi.
Sejenak, Donghae kembali teringat semua perdebatannya dengan Sungmin, sang malaikat kebahagiaan, yang terus mengekorinya, menahannya agar tidak menemui yeoja yang saat ini ada di hadapannya itu.
“Benarkah aku memiliki perasaan khusus padanya?” Donghae mendesah pelan. “Tidak mungkin! Mana mungkin aku memiliki perasaan pada seorang manusia? Itu tidak mungkin bukan? Benar, Sungmin saja yang terlalu berlebihan.”
Donghae kembali mengalihkan pandangan pada Ji-Hee, sebuah senyuman terkuar dari sudut bibirnya.
“Lee Ji-Hee... aku harus pergi, semoga besok harimu jauh lebih baik.” secara refleks Donghae mengecup pipi kanan Ji-Hee dengan penuh kelembutan.
--------------

Donghae mengepakkan sayapnya, terbang menembus langit, yang di terangi cahaya bintang.
Wusss...
Tiba-tiba muncul sosok Sungmin -yang entah dari mana- berdiri tepat di depan Donghae, sambil berkacak pinggang.
“Bisakah kau tidak muncul di sekitarku?” Donghae mulai geram dengan tingkah laku Sungmin, yang mulai sering mengekori dirinya.
Sungmin memutar bola matanya. “Aku melihatmu tadi.”
“Melihat apa?”
“Lagi-lagi kau... mengecup pipi Ji-Hee.” ujar Sungmin dengan nada sarkatis.
“Itu bukan urusanmu!” tukas Donghae.
“Akan jadi urusanku.” Sungmin meraih lengan Donghae yang hendak pergi. “Aku punya kewajiban untuk mengingatkanmu.” bentak Sungmin. “Sudah berapa kali kukatakan? Dia manusia, dan kau adalah malaikat! Dunia kalian berbeda! Jadi, berhentilah sebelum kau melangkah lebih jauh!”
Donghae menepis tangan Sungmin. “Kau berfikir terlalu jauh.”
“Donghae! Aku hanya... berusaha menghindari hal terburuk yang bisa terjadi.”
“Tidak akan terdaji apa-apa. Kau tenang saja.” Donghae menepuk pundak Sungmin pelan, kemudian melesat pergi, meninggalkan Sungmin yang masih berkutat dengan segala asumsinya.
“Apa yang harus kulakukan untuk menyadarkannya?” Sungmin berdecak kesal.
==============

Ji-Hee berjalan di trotoar, sambil membawa beberapa kantung belanja.
“Hai...” Ji-Hee langsung terlonjak, saat mendengar suara seorang namja, tepat di telinga kirinya.
“Kau?” Ji-Hee membelalakkan matanya lebar. “Apa yang kau lakukan?”
Namja itu mengangkat bahunya pelan. “Menyapamu.”
“Tapi bukan dengan cara seperti itu, Dongahe-ssi.”
Donghae terkekeh pelan. “Kau masih mengingatku?” tanya Donghae sambil menyungingkan senyuman mautnya(?).
“Tentu saja aku mengingatmu, kau kan...” Ji-Hee mengantungkan kata-katanya, perlahan rona merah muncul di kedua pipinya.
“Aku apa?” goda Donghae.
“Aku tidak ingin membahasnya.” Ji-Hee beranjak pergi, namun dengan cepat Donghae mencengkeram lengan Ji-Hee, menghentikan langkah yeoja itu. “Apa maumu?” Ji-Hee menaikkan sebelah alisnya.
“Ehm... sedikit bicara, mungkin.”
Ji-Hee tampak berfikir sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya pelan.
Ji-Hee menatap wajah Donghae, yang sedang menyesap secangkir espresso di tangannya.
“Kau tidak suka mocachino? Mau kupesankan yang lain?”
“Tidak perlu.” Ji-Hee meraih cangkir berisi mocachino, di depannya.
“Bagaimana?” tanya Donghae sambil tersenyum.
Ji-Hee hanya menganggukkan kepalanya, dan membalas senyuman Donghae. “So, apa yang mau kau bicarakan?” tanya Ji-Hee to the poin.
“Jangan terlalu tegang seperti itu.” Ji-Hee mengeryitkan dahinya. “Kita bicara pelan-pelan.” Donghae menyungingkan senyumannya. “Bagaimana kalau di awali dengan... sebuah pertemanan?”
“Sebenarnya apa maumu, Donghae-ssi?”
“Bukankah sudah kubilang, kita berteman.”
“Aneh.” Ji-Hee menggelangkan kepalanya pelan.
“Apa itu artinya kau setuju?” Donghae mencondongkan tubuhnya.
Ji-Hee memutar bola matanya. “Donghae-ssi, aku tidak mungkin berada di sini, minum secangkir kopi bersamamu, kalau kita tidak berteman bukan?”
==============

* Ji-Hee POV *


“Aku harus pergi.” bisik Donghae tiba-tiba.
“Tapi...” belum sempat aku melanjtkan kata-kataku, Donghae sudah menghilang, entah kemana. Kuhela napas pelan, dan berjalan menuju sebuah kursi.
Sebenarnya saat ini kami -ralat, aku, karena Donghae telah pergi- berada di taman hiburan. Kencan? Kurasa tidak, mana orang berkencan yang di tinggal begitu saja oleh pasangannya? Jadi, kukatakan dengan pasti kami tidak sedang berkencan, hanya jalan-jalan biasa.
Lagi-lagi kuhela napas pelan.
Sudah sebulan aku berteman dengan Donghae, yang kutahu... aku masih lebih beruntung darinya, karena aku masih punya Seulra, dan keponakanku yang masih dalam kandungan. Sedangkan dia? Hidup seorang sendiri. Selain itu, bisa dikatakan aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Entahlah, dia selalu muncul dan pergi begitu saja, membuatku... hanya bisa mengira-ngira, apa yang sedang dikerjakannya? Tapi jujur saja, selama ini... aku merasakan sebuah kenyamanan saat berada di dekatnya. Kadang... jantungku berpacu dengan cepat, saat menatap sorotan matanya yang teduh.
Ehm... satu rahasia yang sedikit memalukan, aku pernah bermimpi dia menemaniku tidur, menjagaku, dan membelai rambutku dengan lembut.
Ya Tuhan... kurasa aku mulai menyukainya. Tidak-tidak! Kau tidak boleh terlalu berharap Lee Ji-Hee! Cepat bangun dari tidurmu!
Kutepuk pipiku pelan, sebaiknya aku pergi ke supermarket, siapa tahu ada barang yang kubutuhkan di sana.
--------------

Hari minggu yang cerah....
Aku berjalan di atas trotoar, menoleh ke kanan dan ke kiri.
Apa yang kau harapkan Ji-Hee? Donghae muncul tiba-tiba seperti biasanya? Oh sial! Sejak kapan keberadannya mempengaruhi hidupku?
Brakkk...
Aku terlonjak saat mendengar suara benturan keras. Aku hanya mampu membekap mulutku kuat-kuat, saat melihat hasil dari sebuah tabrakan maut, mobil menabrak pengendara motor.
Kulihat pengendara motor itu tergeletak di aspal, ini jalanan sepi, aku ingin menolongnya, tapi... entah kenapa kakiku terasa kaku, sama sekali tidak bisa di gerakkan. Jujur saja ini mengingatkanku pada Hyukie oppa, dan itu membuatku merasa sesak napas.
Tunggu dulu! Sekelabat aku melihat seseorang menghampiri tubuh pengendara motor itu, tapi... kenapa tidak ada siapa-siapa disana? Aku kembali menajamkan penglihatan, ada apa dengan mataku? Samar-samar kulihat siluet tubuh yang tidak asing bagiku.

“Donghae...” bisikku lirih, sambil memincingkan mata.
Aku tersenyum lega saat menyadari itu adalah Donghae, syukurlah... dia telah menolong pengendara motor itu. Kupaksakan kakiku untuk melangkah menuju mereka. Langkahku tiba-tiba terhenti, saat melihat sesuatu terpancar dari punggung Donghae, apa itu? Sinar itu menyelubungi seluruh tubuh Donghae, seolah berusaha menelan tubuh mereka.
Cepat, terlalu cepat, aku tidak tahu... apa yang terjadi? Yang bisa kulihat saat ini adalah... sesuatu yang benar-benar tidak bisa kupercaya. Donghae, memiliki sayap? Bukan hanya itu, perlahan dia terbang, seolah sedang menggiring sesuatu entah apa, yang... tidak bisa kulihat.
Donghae menoleh padaku, untuk sesaat, pandangan mata kami bertemu. Ada banyak pertanyaan dalam kepalaku, dan... hey! Tatapan macam apa itu? Kenapa Donghae menatapku seperti itu? Sejurus kemudian dia... menghilang? Aku hanya bisa menelan ludah, melihat pemandangan mustahil ini.
“Cepat panggil ambulans.” sebuah teriakan membuyarkan seluruh lamunanku.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, kulihat ada beberapa orang yang telah menolong pengendara itu.
“Dia sudah tidak bisa diselamatkan.”
Aku membeku di tempat, saat mendengar kata-kata itu, perlahan aku mendongak menatap langit. Ya Tuhan... apa yang baru saja kulihat?
--------------

Aku duduk meringkuk di atas tempat tidurku, kupejamkan mataku, dan membenamkan kepalaku diantara kedua lututku. Rasanya... aku harus menyusun kembali semua isi otakku, yang mulai tidak beres. Kepalaku terasa pusing, sepertinya aku butuh obat.
Begitu kubukan kedua mataku, hal pertama yang bisa kulakukan hanyalah membelalak lebar. Dengan cepat, kualihkan pandangan ke arah pintu dan jendela, masih tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda pernah di buka atau semacamnya. Lantas... bagaimana dia bisa masuk?
Jantungku berdegup kencang, saat kulihat dia mulai mengulurkan tangannya, secara refleks aku menghindarinya.
“Kau bisa melihatku?” suaranya bergetar? “Lee Ji-Hee... kau bisa melihatku?”
Kutelan ludahku, saat melihat raut mukanya yang mulai gusar? “Ten... tentu saja aku bisa melihatmu. Pertanyaan macam apa itu?”
“Tidak mungkin...” dia meraung, memegang kepalanya. “Jadi... tadi siang, kau... kau melihatku?” aku mengangguk pelan. “Bagaimana bisa? Aku bahkan tidak menunjukkan diriku saat ini. Tidak yang lebih penting bagaimana mungkin kau... bisa melihatku saat aku menjalankan tugasku?” aku hanya bisa mngetutkan dahi, mendengar semua ocehannya, yang membuatku semakin bingung.
“Aku butuh penjelasan.” well, kurasa itu hanya sebuah pertannya standart, tapi... kenapa wajahnya berubah jadi setegang itu?

Donghae duduk di atas tempat tidurku, kami saling berhadapan. Bisa kulihat -untuk kesekian kalinya- Donghae menghela napasnya pelan.
“Aku malaikat maut.” kata-kata itu sukses membuat mulutku mengangga lebar. “Tugas utamaku adalah... menjemput manusia.” mata itu... menatapku lekat-lekat. “Maaf... karena... akulah yang telah menjemput hampir seluruh keluargamu.” tanpa bisa dicegah, air mataku telah meluncur dengan anggun di atas permukaan pipiku. “Apa kau takut padaku?”
Takut? Entahlah. Jujur saja, saat ini perasaanku bercampur aduk, memang terselip perasaan takut di hatiku, tapi... tidak bisa dipungkiri aku... benar-benar menyukainya. Ya Tuhan...
Kugigit bibir bawahku. “Kenapa kau... hadir dalam kehidupanku?” bisikku lirih.
“Ji-Hee... satu hal yang perlu kau tahu, aku tidak akan pernah menyakitimu.”
“Itu tidak menjawab pertanyaanku.”
“Sama sepertimu, aku juga sedang mencari jawabannya.” dia kembali menatapku, dengan tatapan mata teduhnya yang sangat kusukai. “Ji-Hee... kau percaya padaku?” aku mengangguk pelan. “Tutup matamu.”
“Eh?”
“Percayalah padaku. Tutup matamu.”
Entah apa yang kupikirkan? Kenapa begitu mudahnya aku menuruti kata-katanya.

Sejurus kemudian, bisa kurasakan tangan Donghae menyentuh daguku, dan detik berikutnya, rasanya aku benar-benar berhenti bernapas. Dia... bukan bibirnya bergerak di permukaan bibirku. Ya Tuhan... kenapa dia melaukan ini lagi padaku? Salah, pertanyaan yang paling krusial adalah kenapa aku bisa terhanyut dalam permainannya? Di tengah berdegup jantungku yang berdebar dengan kencang, dan perasaan shock yang membuatku hanya bisa diam, tidak meresponnya sama sekali, tidak bisa dipungkiri bahwa... aku menikmatinya.
Beberapa saat kemudian, dia melepaskan ciumannya, aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengisi paru-paruku dengan udara sebanyak-banyaknya.
Di tengah kesibukan yang sedang mengatur napas, bisa kurasakan tangan kokohnya menarik pergelangan tanganku, kemudian mendekap tubuhku dalam pelukan hangatnya. Saat itu juga aku merasakan sebuah kenyamanan. Aroma tubuhnya, percampuran antara harum bunga-bunga yang segar dan mint, apa begini wangi tubuh semua malaikat? Seolah menyatu dengan alam. Tunggu! Aku masih belum tahu apa alasannya menciumku? Ya Tuhan... dia sudah menciumku dua kali. Apa maksudnya?
==========

* Author POV *
“Ini sudah malam Ji-Hee... kau harus tidur!” Donghae menghampiri Ji-Hee, yang sedang berkutat dengan beberapa proposal di tangannya.
“Sedikit lagi.” jawab Ji-Hee acuh.
“Kenapa ada manusia keras kepala sepertimu?”
“Aish... kenapa ada malaikat cerewet sepertimu?”
“Sudahlah, aku tidak ingin bertengkar denganmu.” Donghae menarik lengan Ji-Hee dengan lembut, membimbingnya untuk naik ke tempat tidur. Kemudian melingkarkan lengannya di pinggang Ji-Hee, mendekap tubuh yeoja itu.
“Pejamkan matamu.”
“Tidak mau.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu apa yang akan kau lakukan, jika aku memejamkan mata.”
Donghae terkekeh pelan. “Aku tidak akan berbuat macam-macam padamu.”
Ji-Hee memincingkan matanya. “Terakhir kali kau bilang begitu... kau menciumku bukan? Kali ini aku tidak akan tertipu.”
Dongahe tertawa lepas. “Ah... aku ingat, hari itu... untuk pertama kalinya, kau membalas ciumanku.” kata-kata Donghae sukses membuat wajah Ji-Hee memerah, bagaikan kepiting rebus.
“Aku... mau tidur di kamar Seulra.”
“Tidak boleh.”
“Kenapa?”
“Karena aku ingin mendekapmu seperti ini, sampai kau tertidur pulas.”
Ji-Hee hanya bisa mengerucutkan bibirnya, entah kenapa dia tidak bisa menolak semua ucapan Donghae.
“Ji-Hee... semoga besok harimu jauh lebih baik.” bisik Donghae lirih, Ji-Hee hanya bisa tersenyum, perlahan, matanya mulai terpejam, tidak lama kemudian, yeoja itu telah terlelap, masuk ke alam mimpi.

Ya... seperti itulah hubungan mereka, selama hampir sebulan ini.
Ikatan? Tentu saja ikatan itu ada -meski terlihat samar-samar- hanya saja mereka lebih memilih menjalani semuanya, tanpa mempedulikan apapun yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Egois? Ji-Hee hanya manusia biasa, tentu saja dia memiliki sifat egois, sedangkan Donghae, bukankah seharusnya malaikat tidak memiliki sifat dasar manusia? Ataukah... Donghae adalah malaikat yang cukup istimewa? Hingga mampu merasakan tiap emosi yang dimiliki manusia?
--------------

“Aku harus bicara serius denganmu.” Sungmin menunjukkan raut wajah cemasnya.
“Apa?” tanya Dongahe datar.
“Donghae, aku tahu kau profesional, tidak pernah melalikan tugasmu. Tapi... cukup sampai di sini hubunganmu dengan manusia itu.”
“Ji-Hee, namanya Ji-Hee.”
Sungmin mendesah pelan. “Oke, Ji-Hee. Akhiri hubunganmu dengan Ji-Hee sekarang juga. Kau tahu konsekuensi hubungan kalian.”
“Biarkan seperti ini dulu.”
“Sampai kapan? Sampai kau menjemputnya?” Sungmin tertawa hambar. “Aku bahkan ragu kau bisa menjemputnya.”
“Apa maksudmu?”
“Hukumanmu akan berlipat ganda, jika kau masih bersikap seperti ini.”
“Kau hanya perlu... pura-pura tidak tahu, aku tidak akan melibatkanmu...”
“Kau pikir... aku berkata seperti ini karena takut kau melibatkanku?” potong Sungmin dengan nada tingginya. “Kau salah Donghae! Ini peringatan terakhir, atau aku yang akan mengambil tindakan.” Sungmin melesat meninggalkan Donghae begitu saja.
==============

“Lee Ji-Hee-ssi.” seorang namja berdiri tepat di depan Ji-Hee.
“Ne?”
“Senang akhirnya bisa bertemu denganmu.” Ji-Hee memiringkan kepalanya. “Lee Sungmin.” namja itu mengulurkan tangannya, dan disambut dengan sedikit ragu-ragu oleh Ji-Hee. “Bisa kita bicara sebentar?”
“Maaf, tapi aku...”
“Ini masalah Donghae.”
Ji-Hee mengeryitkan dahinya. “Kau kenal dengan Donghae?”
“Bukan hanya kenal.” Sungmin mengerlingkan matanya.
Detik itu juga Ji-Hee membulatkan matanya, kemudian mengangguk pelan.

“Sebenarnya kami... tidak diperkenankan untuk menampakkan diri seperti ini.” ucap Sungmin begitu keduanya duduk di bangku taman.
“Maksudmu?”
“Ada harga yang harus dibayar.” Sungmin menyungingkan senyumannya. “Karena ini suatu palanggaran.” Ji-Hee terkesiap, “Melihat reaksimu, kau pasti memikirkan Donghae, benar bukan?”
“Donghae... dia...” Ji-Hee mulai kehilangan kata-katanya.
“Ji-Hee-ssi, hubungan kalian tidak benar. Kau tahu itu bukan?”
“Kami...” Ji-Hee menggigit bibir bawahnya.
“Aku mengerti perasaan kalian.” Sungmin menghela napas pelan. “Sudah kukatakan berkali-kali pada Donghae, tapi... dia tidak mau mendengarkan.” Sungmin menatap wajah Ji-Hee. “Akan ada hukuman yang menantinya.”
“Hukuman?” tanya ji-Hee ragu-ragu.
“Yang kutahu, pelanggaran yang dibuat oleh Dongahe, bisa mengakibatkan...”
“Apa?”
“Dia... bisa dimusnakan. Kau mengerti maksudku bukan?”
Ji-Hee hanya bisa meneteskan air matanya, dan menggeleng pelan. “Itu tidak mungin. Apa yang harus kulakukan?”
“Jauhi Donghae, sebelum semuanya terlambat.”
“Sungmin-ssi. Aku...”
“Aku tahu ini sangat berat bagimu, tapi... aku tahu kau bisa melakukannya. Demi Donghae, demi kalian berdua.”
===========

Tok... Tok... Tok...
Ji-Hee mengetuk pintu sebuah apartment.
Ckelekkk...
“Ji-Hee?”
“Oppa... kau harus menolongku...”
“Masuklah.” namja itu membimbing tubuh Ji-Hee yang bergetar hebat. “Ceritakan pelan-pelan.” ucapnya, sambil mendudukkan Ji-Hee di sebuah sofa.
“Yunho oppa... bantu aku. Pura-puralah jadi pacarku.”
“Apa maksudmu?”
“Aku... menyukai seseorang, tapi... aku sadar sepenuhnya kami tiak bisa bersama, dia... aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya, hanya karena hubungan kami.”
Yunho mengusap rambut Ji-Hee lembut. “Kenapa kau begitu bodoh? Mengorbankan diri sendiri?”
Ji-Hee menggeleng pelan. “Dialah yang terlalu banyak berkorban untukku.”
Yunho mendesah pelan. “Kau benar-benar telah menemukan pengantiku? Entah kenapa rasanya... aku tidak suka pada namja itu.” Yunho menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa.
“Oppa...” Ji-Hee menunjukkan raut wajah memelas.
==============

“Ji-Hee-ya! Aku tidak suka kau dekat dengan namja itu. Siapa namanya? Yunho? Dia... mantan kekasihmu bukan?” Donghae berjalan hilir mudik di kamar Ji-Hee.
“Sepertinya mulai sekarang kau harus membiasakan diri, untuk melihatku bersamanya.” Ji-Hee berjalan melewati Donghae begitu saja.
“Apa maksudmu?”
“Begitulah.”
“Lee Ji-Hee!”
“Apa?” tanya Ji-Hee dengan nada dingin.
“Kau kenapa?”
“Kau yang kenapa? Lee Dongahe-ssi. Kau malaikat, aku manusia, tentu saja suatu saat aku akan menikah dengan manusia bukan?” Donghae mengeryitkan dahinya. “Haruskan kukatakan dengan jelas? Aku menerima lamaran Yunho oppa. Puas?”
“Kau tidak boleh menerimanya.”
“Kenapa tidak boleh?”
“Karena... karena... kau hanya milikku.”
“Konyol. Bahkan hanya aku yang bisa melihatmu.”
“Aku bisa menunjukkan diriku pada semua orang.”
“Sampai berapa lama? Kau tidak akan bisa bertahan seperti itu?”
“Ada apa denganmu?”
“Harusnya itu menjadi pertanyaanku. Ada apa denganmu? Kenapa kau hadir dalam kehidupanku? Sampai kapan kau akan memperlakukanku seperti ini? Aku bukan bonekamu! Aku masih punya masa depan. Aku butuh kehidupan yang normal.”
“Ini bukan dirimu.”
Ji-Hee mendengus kesal. “Sebaiknya mulai sekarang, jangan pernah mencampuri masalah pribadiku, atau... pergi jauh dari kehidupanku.”
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
“Kalau begitu, akan kubuat kau meninggalkanku.” bisik Ji-Hee dalam hati.
==============

Brakkk...
Donghae mengembrak meja.
Saat ini dia berada di sebuah restaurant, mengikuti Ji-Hee dan Yunho yang sedang makan siang berdua.
Dengan cepat, Donghae telah berdiri di depan meja Ji-Hee, sambil melipat tangannya di depan dada.
“Lee Ji-Hee. Ikut aku.”
Ji-Hee melirik Yunho sekilas, yang sedang mendongak menatap Donghae. “Jadi bukan hanya aku yang bisa melihatnya? Dia benar-benar...” rutuk Ji-Hee dalam hati. “Donghae-ssi? Apa yang kau lakukan di sini?”
“Kau sendiri? Apa yang kau lakukan di sini.” Donghae memandang sinis ke arah Yunho.Ji-Hee menoleh pada Yunho, mencoba mencari pertolongan.
“Maaf, tapi... aku yang mengajaknya makan siang bersama.”
“Aku tidak bicara padamu.” serga Donghae dengan kasar.
“Lee Donghae!”
“Apa? Cepat ikut aku.” Dongahe menarik lengan Ji-Hee. “Minggir.” tukas Donghae tajam, saat melihat Yunho berusaha menghalaginya.
“Yeoja yang saat ini tangannya sedang kau cengkeram, adalah calon istriku.”
“Benarkah?” Donghae menarik tubuhJi-Hee, dan mendaratkan sebuah ciuman di bibir yeoja itu.

Plakkk...
Sebuah tamparan mendarat dengan mulus di pipi Dongahe.
“Mulai sekarang, jangan pernah menemuiku lagi!” Ji-Hee mendorong tubuh Donghae, dan menarik lengan Yunho, meninggalkan restaurant itu dan beberapa pasang mata yang dipenuhi tanda tanya.
“Ji-Hee...” Ji-Hee terus berjalan, tanpa menghiraukan panggilan Yunho “Lee Ji-Hee.” dengan cepat Yunho mendekap tubuh Ji-Hee dari belakang. “Menangislah... jika kau ingin menangis.”
“Oppa... aku benar-benar menyukainya.” Ji-Hee meneteskan air matanya.
“Aku tahu...” Yunho semakin mengeratkan pelukannya.
Saat itu, ada sepasang mata yang dipenuhi perasaan sakit di hatinya.
“Bukankah aku malaikat? Kenapa semakin hari aku semakin bisa merasakan emosi manusia?” guman Donghae, dengan perasaan frustasi. “Haruskah aku... meninggalkanmu? Lee Ji-Hee...” Dongahe memejamkan matanya.
==============

Dua Minggu Kemudian...


“Seulra... maaf, harusnya aku yang menjagamu, bukan malah sebaliknya.” Ji-Hee melirik perut Seulra yang semakin membuncit.
“Kau ini bicara apa?” Seulra memukul lengan Ji-Hee. “Siapa suruh kau terlalu sibuk bekerja, hingga tidak menjaga kesehatanmu?” Seulra mendengus kesal.
Ji-Hee hanya terkekeh pelan. “Cerewet. Kau jadi mengingatkanku padanya.”
“Pada siapa?”
“Namja cerewet yang selalu mengikutiku.”
“Benarkah? Kau tidak pernah cerita tentangnya.” Ji-Hee hanya tersenyum miris. “Lantas? Kemana dia sekarang? Harusnya aku bisa meminta bantuannya, setidaknya... aku bisa menghemat tenagaku untuk memerahimu.” Seulra terkekeh pelan.
“Dia sudah pergi.” tanpa sadar, Ji-Hee meneteskan air matanya.
“Ji-Hee-ya...” Seulra mengusap rambut Ji-Hee lembut.
--------------

Di Sisi Lain...


“Apa yang harus kulakukan?” Dongahe berteriak frustasi.
“Apa? Kau tanya apa? Tentu saja menjemputnya, bodoh!”
“Tapi... kau lihat keadaannya, dia hanya kelelahan, tidak ada penyakit khusus pada dirinya.” Donghae mengacak rambutnya sendiri.
“Donghae, bukan saatnya untuk mempermasalahkan itu semua, sekarang cepat kau jemput dia.” Sungmin mendorong tubuh Donghae.
“Kenapa?”
“Aish! Karena sudah waktunya dia di jemput.”
“Kenapa harus dia?”
“Jnagan bicara yang aneh-aneh. Ini tugasmu Donghae.”
“Bisakah jangan aku yang menjemputnya.”
“Mwo? Kau gila!” Sungmin memijit pelipisnya. “Aku akan menemanimu.”

Ji-Hee membuka matanya pelan. Sebuah senyuma terkuar di sudut bibir Ji-Hee saat melihat wajah seseorang.
“Kau datang?” gumamnya lirih.
“Aku akan menjemputmu.” bisik Donghae. Ji-Hee hanya menganggukkan kepalanya pelan. “Kau percaya padaku?” Ji-Hee tersenyum, kembali menganggukkan kepalanya.
Untuk sesaat, mata keduanya saling bertemu, saat itu juga keragu-raguan di hati Donghae kembali muncul.
“Aku tidak bisa melakukan ini.” Ji-Hee terkesiap mendengar teriakan Donghae. Saat itu juga Ji-Hee mengakap siluet trasparant, seolah berusaha menenangkan tubuh Donghae. “Sungmin! Jangan paksa aku.” teriakan Donghae semakin menggelegar.
“Sungmin?” batin Ji-Hee. “Donghae...” panggil Ji-Hee lirih. “Aku percaya padamu.”
Untuk pertama kalinya Donghae meneteskan air matanya. Malaikat maut? Meneteskan air mata untuk manusia yang akan dia jemput?
Donghae mengepalkan tangannya, menghampiri ji-Hee yang masih terkulai lemas di atas tempat tidurnya, dengan cepat Donghae mengecup pucuk kepala Ji-Hee, kemudian melesat pergi, meninggalkan kamar Ji-Hee.
“Donghae...” Ji-Hee berusaha mengeluarkan suaranya yang serak.
Perlahan, sosok Sungmin muncul di hadapan Ji-Hee.
“Sudah kuduga akan jadi seperti ini. Dia benar-benar memilih jalan yang telah di yakininya.” Sungmin tersenyum miris. “Ji-Hee, jagalah dirimu baik-baik, hargai pengorbanan Donghae.” Ji-Hee meneteskan air matanya.
“Sungmin-ssi... apa kau membenciku?”
“Mungkin, tapi... aku tahu kau juga telah mengorbankan perasaanmu demi Donghae, meski ternyata... sikap bodohnya telah mengangacaukan segalanya.” Sungmin tersenyum simpul.
==============

Setahun Kemudian...


Ji-Hee menatap bangunan, yang telah di tempatinya selama 25 tahun dalam hidupnya, sebuah senyuman terkuar di sudut bibirnya, saat membayangkan wajah keponakan yang menyambut kedatangannya.
Inilah kehidupan yang di jalani Ji-Hee selama setahun ini. Tidak ada malaikat yang muncul dalam hidupnya, hanya ada Seulra dan bayi mungilnya, yang mewarnai hidup Ji-Hee.
Ji-Hee mendesah pelan, mengingat, lagi-lagi Yunho melamarnya.

Aku masih belum bisa melupakannya.”

Kata-kata itu selalu meluncur begitu saja, dari mulut Ji-Hee, sebuah alasan klise untuk menolak seorang Jung Yunho.
Ji-Hee menarik napasnya dalam-dalam, kemudian turundari mobilnya, berjalan memasuki hunian, yang secara tidak langsung mengingatkannya pada sosok Donghae, sang malaikat maut.

Ckelekkk...
Ji-Hee memasuki rumah, dan tujuan utamanya adalah ruang tengah.
Dia tersenyum riang saat melihat box bayi, dengan langkah ringan Ji-Hee menghampiri box bayi itu, yang terletak di ujung ruangan.
“Ji-Hee-ya...” kepala Seulra muncul di ambang pintu. “Jangan mengganggu Eunra! Dia baru saja tertidur.” Ji-Hee hanya bisa mengembungkan pipinya. “Cepat ganti baju.”
“Aish! Kau suka sekali menyuruhku ganti baju. Tidak adakah kata-kata yang lain?” gerutu Ji-Hee, dan beranjak menuju kamarnya di lantai dua.
Seulra hanya terkekeh pelan. “Ji-Hee... di kamarmu...” Seulra terdiam sejenak.
“Ada apa dengan kamarku?” Ji-Hee memincingkan matanya. “Jangan-jangan... Eunra ngompol di kamarku lagi ya?”
“Cih! Sudahlah... cepat ganti baju.” Seulra langsung berlanggang pergi.

Ckelekkk...
Ji-Hee membuka pintu kamarnya. Detik itu juga dia membelalakkan matanya lebar, jantungnya berpacu dengan cepat, dia merasakan sesuatu tengah menghimpit dadanya.
Perlahan, Ji-Hee berjalan, tangannya terulur, mencobamenggapai sesuatu.
Greppp...
Ji-Hee mengerjapkan matanya, saat menyadari tangannya mulai menyentuh tubuh seseorang. Ji-Hee mendongak, menatap wajah rupawan yang ada di hadapannya.
“Kau? Lee Donghae?”
“Apa? Kau tidak rindu padaku?” Donghae menyungingkan sebuah senyuman, detik berikutnya dia menarik tubuh Ji-Hee, dan mendekapnya dengan erat.

“Beri aku alasan, kenapa aku bisa melihatmu lagi? Kenapa kau muncul lagi dalam kehidupanku? Kenapa aku...” Ji-Hee mencoba mengontrol detak jantungnya, yang berpacu dengan cepat. “Aku...” Ji-Hee merasa kesulitan untuk merangkai kata-kata, tanpa disadarinya, butiran air mata telah jatuh dari pelupuk matanya.
Donghae tersenyum simpul. “Karena aku mencintaimu.”
Dengan cepat, Donghae menarik tubuh Ji-Hee, dan mendaratkan bibirnya tepat di atas permukaan bibir Ji-Hee.
Ji-Hee memejamkan mata, perlahan mulai melingkarkan tangannya di leher Donghae. Seolah mendapat angin segar, Donghae mulai melumat bibir Ji-Hee, dengan penuh perasaan, berusaha meluapkan rasa rindu, yang memenuhi ruang di hatinya. Tanpa ragu, Ji-Hee pun mulai membalas setiap ciuman dari Donghae.
“Sa... ranghae...” bisik Donghae di sela-sela ciumannya.
Mendengar itu, tanpa bisa di cegah, butiran air mata kembali jatuh dari sudut mata Ji-Hee. Menyadari hal itu, tangan Donghae meraih wajah Ji-Hee dengan lembut, jempol Donghae bergerak, berusaha menyeka air mata Ji-Hee, tanpa melepaskan ciumannya.
Sejurus kemudian, Donghae mengakhiri ciumannya, memberi kesempatan pada Ji-Hee untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Mata keduanya bertemu, saling menatap dalam, mencari sebuah jawaban yang berkelebat dalam benak masing-masing.

“Kau tidak akan meninggalkanku lagi?” bisik Ji-Hee lirih.
“Tidak akan.” Donghae tersenyum lembut.
“Selamanya?”
“Selamanya.”
“Sampai maut menjemputku?”
Donghae terkekeh pelan. “Kali ini bukan aku yang akan menjemputmu. Tapi Heechul.”
Ji-Hee memukul dada Dongahe pelan. “Seriuslah sedikit.”
“Ji-Hee... dengarkan ini baik-baik. Sampai kapanpun, aku akan selalu ada di sampingmu. Bahkan jika saat itu tiba, aku akan meminta Heechul untuk menjemputku juga. Karena... aku tidak akan pernah mengijinkanmu untuk pergi meninggalkanku.”
Ji-Hee mengerucutkan bibirnya. “Kau bisa meninggalkanku, kenapa aku tidak bisa? Bukankah yang seperti itu namanya curang?”
“Karena aku mencintaimu.”
“Salah. Yang benar, karena kau egois.”
“Aish! Sudah kubilang, aku mencintaimu.”
“Kau mantan malaikat maut yang egois! Juga bodoh! Yang membuatku... hampir setiap hari selalu menangisimu.”
Donghae menarik tubuh Ji-Hee dalam dekapannya. “Benarkah?” Ji-Hee mengangguk pelan. “Maaf...” Donghae semakin merapatkan pelukannya. “Aku tidak akan membuatmu menangis lagi.” bisiknya lirih.
Ji-Hee tersenyum simpul. “Kau pasti berbohong.”
“Aku berjanji, Lee Ji-Hee.” detik berikutnya, Donghae kembali melumat bibir Ji-Hee dengan lembut, penuh perasaan, dan dalam.

Tidak jauh dari tempat mereka, terlihat sosok Sungmin -sang malaikat kebahagiaan- yang terus menyungingkan senyuman tulusnya.
“Ah... sepertinya aku harus menebarkan kebahagiaan di sekeliling kalian.” ucap Sungmin dengan senyum riangnya.
Perlahan, Sungmin mulai memutar-mutar tangannya, menciptakan kabut transparat, tepat di atas kepala mereka berdua.
“Selesai.” Sungmin bertepuk tangannya pelan, merasa puas dengan hasil pekerjaannya sendiri. “Semoga kalian selalu bahagia... Lee Ji-Hee, Lee Donghae.” Sungmin menyungingkan senyuman manisnya, kemudian mulai mengepakkan sayapnya, meninggalkan mereka berdua.

*** The End ***

Wkakakaka....
Akhirnya tamat juga *ngelap keringet seember(?)* satu utang lunas hehehe ^^v
Geje? Emg! Aneh? Sudah pasti! Ancur? Hadeh... kyk gak th aku aja, pan klo bikin cerita gak pernah ada yang beres buahahaha...
Ehm... Special buat... semua reader yg mulai demen ma JiHae Couple dah *emang ada?* Kagak! Wkakakaka... *ngakak gulung tikar(?)*
Rinko... kurang... (==') aku masih nagih JiHae fufufu~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar