Sabtu, 08 Oktober 2011

«» Give Me a Reason ® {1/2} «»

Author : Me aka Reni Yunhae Uknow
Main Cast : Lee Ji-Hee
                     Lee DongHae
Support Cast : Jung YunHo
                           Lee SungMin
                           Lee HyukJae
                           Hwang Seul-Ra
Genre : Fantasy-Romance / Straight
Rated : PG-16
Length : TwoShoot {1/2}
Disclaimer : Plot, ide cerita cmn milik author, kagak ada yang boleh protes! *langsung di tendang ke surga(?)*
karena ini hanya karangan fiktif belaka, suka-suka aku dong... mau tak bikin kayak gimana! Wkakaka... #Plakkk... *Langsung ditabok rame-rame*
=================

* Author POV *


Suara gemericik air sungai menganlun dengan indah, seolah menjadi suatu melodi tersendiri, yang mampu menenangkan hati setiap manusia.
Tidak jauh dari sana, di sebuah jembatan gantung, berdiri seorang yeoja, yang sedang menatap langit biru, sambil tersenyum simpul.
Yeoja itu mengenakan dress selutut, dengan lengan ¾ berwarna putih, yang membuat wajah manisnya terlihat lebih sempurna.
Beberapa helai rambutnya -yang memang teurai- bermain nakal, karena hembusan angin kecil, namun, yeoja itu tidak terlalu mempedulikannya.
Tidak lama kemudian, beberapa butiran air mata jatuh di pelupuk matanya. Perlahan, dengan kepala yang masih menengadah, yeoja itu menutup kedua matanya, mencoba menghirup udara dalam-dalam, sekedar untuk mengurangi rasa sakit di hatinya. 
Sejurus kemudian, yeoja itu membuka kedua matanya, memberikan senyuman lembutnya ke arah langit. Detik berikutnya, dia menjatuhkan tas tangannya, melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah, meraih besi pagar jembatan, dan mencengkeramnya kuat-kuat.
==============

Di sisi lain...

Sepasang mata hitam kelam, milik sesosok namja, dengan paras rupawan, terus mengawasi tiap gerak-gerik yeoja itu. Berkali-kali sosok itu berfikir, kenapa setiap ada kesempatan, dia selalu pergi untuk melihat keadaan yeoja itu? Kenapa yeoja itu terlihat berbeda dari manusia yang lainnya? Satu hal yang benar-benar membuatnya sedikit pusing, apa alasan dia selalu tersenyum? Saat melihat yeoja itu menyungingkan sebuah senyuman, sambil menengadah, menatap langit. Padahal dia tahu dengan pasti, senyuman dari yeoja itu bukanlah untuknya.

Wusss...
Sebuah sayap indah, putih cemerlang, melintas tepat di depan sosok namja itu. Membuatnya sedikit terlonjak, dan sedikit terhuyung kebelakang, dengan cepat, dia mengepakkan sayapnya, yang tak kalah indah, putih cemerlang.
“Hya! Sungmin! Apa yang kau lakukan?”
“Aku?” tanya Sungmin dengan wajah innocent, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Bukan! Setan! Tentu saja kau malaikat bodoh!”
Sungmin mengerucutkan bibirnya. “Aku kan hanya lewat. Tidak ada aturan yang...” Sungmin memainkan jari-jarinya. “Melarang seorang malaikat lewat di depan malaikat yang lainnya.”
“Memang tidak ada! Tapi kau mengagetkanku. Bodoh!”
“Donghae? Sang malaikat maut? Tidak kusangka kau bisa terkejut. Wow... ini suatu kemajuan.” Sungmin terkekeh pelan.
Dongahe memutar bola matanya. “Kenapa kau ada di sini?”
“Eh? Aku ini malaikat kebahagiaan. Tentu saja aku sedang menjalankan tugasku.” Sungmin merentangkan kedua tangannya. “Menebarkan kebahagiaan.”
“Cih! Bilang saja kau sedang main-main.”
Lagi-lagi Sungmin mengerucutkan bibirnya. “Kau sendiri sedang apa di sini?”
“Aku?” Donghae mengalihkan pandangan pada yeoja itu.

“Siapa yeoja itu? Manusia yang akan kau jemput?” Donghae mengangkat bahunya pelan. “Berapa lama kau di sini?”
“Ehm... lebih dari setengah jam.”
“Dan kau masih belum menjemputnya?”
“Belum ada perintah untuk menjemputnya.”
Sungmin memincingkan matanya. “Lantas? Untuk apa kau ada di sini?”
Donghae menghela napas pelan. “Itulah yang tidak kumengerti.”
Sungmin mengerutkan keningnya. “Siapa namanya?”
“Lee Ji-Hee, 24 tahun...”
Detik itu juga Sungmin membelalakkan matanya lebar. “Ja... jangan bilang kau... kau... menyukainya?”
“Atas dasar apa kau bicara seperti itu?”
“Tidak ada perintah untuk menjemputnya, tapi... kau tahu namanya, bukan hanya itu, kau... lebih dari setengah jam mengawasinya? Kurasa kau menyukainya.” Sungmin tersenyum manis.
“Mana ada hal seperti itu? Kita ini malaikat, dan dia... hanya manusia bisa. Tidak-tidak bukan itu masalahnya, yang pasti aku tidak mungkin memiliki perasaan seperti itu.”
“Benarkah?” Sungmin menaikkan sebelah alisnya, melihat setiap gerak-gerik dari Donghae. “Apa yang menarik dari manusia itu?”
“Eh?” Donghae mengalihkan pandangan, menatap wajah sungmin lekat-lekat.
“Aku bertanya, apa yang menarik dari manusia itu? Sampai-sampai kau tidak berkedip saat menatapnya.”

Donghae menghela napas pelan, kembali mengalihkan pandangan ke arah Ji-Hee.
“Dia manusia yang sangat unik.” Sungmin menatap Donghae, sambil tersenyum, matanya mulai berbinar-binar, tanda dia sangat tertari dengan cerita itu. “Aku sudah menjemput hampir seluruh keluarganya. Kau tahu bagaimana reaksinya setiap kali aku menjemput keluarganya?” Donghae tersenyum simpul. “Dia akan menatap langit, memberikan sebuah senyuman manisnya, seolah bisa melihat orang-orang yang disayanginya. Entah apa yang ada dalam pikirannya.”
Sungmin mengusap-usap dagunya. “Yeoja yang menarik. Aku jadi ingin mendebarkan kebahagiaan di sekelilingnya.” tanpa disadari, sudut bibir Donghae sedikit terangkat, saat mendengar komentar Sungmin.
“Terima kasih.” celetuk Donghae, tanpa sadar.
“Kenapa berterima kasih?” Sungmin tersenyum manis, sambil menggoyang-goyangkan sayapnya.
Donghae mengerjapkan mata, “Ehm... itu...”
“Hya! Apa yang mau dia lakukan?” Sungmin berteriak histeris, saat melihat Ji-Hee meraih besi pagar jembatan, dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Donghae, apa kau akan menjemputnya?” Sungmin menarik-narik lengan Donghae.
“Tentu saja tidak, sudah kubilang tidak ada perintah.” melihat reaksi Sungmin yang sedikit berlebihan, Donghae mulai panik.
“Kau... cepat kesana. Temui dia, jangan biarkan dia bunuh diri.”
Donghae membelalakkan mata, saat mendengar kata bunuh diri meluncur dari mulut Sungmin. “Apa maksudmu?”
“Sudah cepat temui dia, bicaralah dengannya.” Sungmin mendorong tubuh Donghae. “Jangan biarkan dirimu... terpaksa harus menjemputnya.” Donghae mengerti maksud kata-kata Sungmin.
Dengan cepat, Donghae mulai mengepakkan sayapnya, secepat kilat terbang ke arah Ji-Hee.
==============

* Ji-Hee POV *


Kucengkeram besi pagar jembatan ini kuat-kuat. Yang ada dalam pikiranku saat ini, menghilangkan semua rasa sesak di dadaku. Ya Tuhan... haruskan...
“Nona... apa yang mau kau lakukan?” aku tersentak, saat mendengar suara seorang namja, disertai dengan suara derap langkah yang semakin mendekat ke arahku. Dengan cepat, aku menoleh ke arah sumber suara.
Kulihat seorang namja yang tidak ku kenal, telah berdiri di hadapanku. Kemeja putih dengan dua kancing yang terbuka, rambut semi-gondrong yang sedikit acak-acakan, ehm... wajahnya... bisa dibilang tampan. Eh? Bukankah dalam keadaan ini, harusnya aku cepat-cepat pergi, menjauh dari orang asing ini? Tapi... kenapa rasanya tubuhku membeku? Dan jujur saja, aku tidak bisa melepaskan pandanganku pada... kedua bola matanya yang hitam kelam. Seolah mata itu telah membiusku.
“Nona?” lagi-lagi aku tersentak, saat mendengar suaranya yang... merdu? Hello dia tidak sedang bernyanyi. Lee Ji-Hee! Ada apa denganmu? Cepat sadar! “Kau menjatuhkan tasmu.” ku kerjapkan mataku beberpa kali, kemudian meraih tasku.
“Te... rima kasih.” ucapku sedikit gugup.
“Lee Donghae.” kulihat uluran tangannya.
Aku tersenyum simpul, “Lee Ji-Hee.”
“Ji-Hee-ssi, boleh aku tahu, kenapa kau ada di sini?”
“Eh?”
Kulihat Donghae menggaruk tekuk lehernya. “Sebenarnya... aku sudah melihatmu dari tadi.” ucapnya dengan nada lembut.
“Hanya mencoba menenangkan diri.”
“Menenangkan diri?”
Kuhela napas pelan, dan mengalihkan pandanganku pada langit biru. “Sekali lagi... aku kehilangan orang yang kusayangi.” gumamku lirih.
“Kau punya masalah? Mau berbagi denganku?”
Aku menoleh, kudapati pandangan matanya yang teduh, seolah memberiku sebuah ketenangan. Dan entah bagaimana caranya, aku mulai mengingat... satu persatu perjalanan dalam kehidupanku.


== -Flashback, 2 ½ Tahun yang Lalu- ==

“Ji-Hee-ya...”
“Ne, umma.” aku berlari ke arah dapur.
“Tolong bangunkan oppamu. Umma mau minta antar ke supermarket.”
“Oke.”
Dengan cepat aku berlari menuju kamar oppaku satu-satunya, yang berada di lantai dua.
Ckelekkk...
Begitu kubuka kamar oppaku, aku langsung meloncat ke sisi tempat tidurnya.
“Oppa... ayo bangun...” kuguncang tubuhnya dengan keras. “Oppa... cepat bangun. Umma mau minta antar ke supermarket.” kubuka selimut yang menutupi tubuhnya. “Oppa...” kutarik lengannya.
Namun tiba-tiba, kurasaka lenganku di tarik dengan kuat, “Kyaaa... oppa...” aku mencoba berontak dari dekapannya.
“Diam kau Ji-Hee. Aku masih ngantuk, kita tidur saja dulu.”
“Hya! Oppa, kau tidak kasihan pada umma?”
Kulihat oppa mulai membuka matanya, dia menatapku lekat-lekat.

Dukkk...
“Kyaaa... sakit.” aku berteriak dengan kencang. Karena dengan sengaja, oppa membenturkan dahinya ke dahiku.
“Rasakan! Siapa suruh menggangguku?”
Kukerucutkan bibirku. “Oppa, aku hanya disuruh umma.”
“Benarkah?” kulihat senyuman di bibir oppaku, eh? Kenapa aku merasakan sebuah firasat buruk?
Brukkk...
“Kyaaaa... Lee Hyukjae... kubunuh kau.” teriakku kencang.
Mataku masih bisa menangkap siluet tubuh oppaku, yang berlari ke arah kamar mandi.
Brakkk...
“Hya! Oppa macam apa kau? Tega-teganya menendangku, hingga jatuh ke lantai.” aku mencoba berdiri, pantatku terasa sakit (T__T)
Brakkk...
Kutendang pintu kamar mandinya. “Awas kau. Tunggu saja pembalasanku.”
Aku berjalan gontai saat menuruni tangga, sambil mengusap-usap pantantku.
“Ji-Hee, ada apa denganmu?” tanya umma yang sudah berada di depan tangga.
“Oppa...” kupasang wajah memelas dihadapan umma.
“Lee Hyukjae! Jangan ganggu adikmu.” teriakan umma menggema di seluruh rumah. Hehehe... rasakan kau oppaku sayang.
--------------

Aku berdiri di balik sebuah pohon, sedang mengendap-endap, mengawasi oppaku yang sedang... sepertinya berusaha menyatakan perasaannya pada seorang yeoja? Tunggu dulu, sepertinya aku tahu yeoja itu, benar, kami seangkatan, aku pernah sekelas dengannya. Dia yeoja manis, bertubuh mungil, yang cukup pendiam, kalau tidak salah, namanya... Seulra, benar Hwang Seulra.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, saat mengetahui Seulra menerima perasaan oppaku. Hadeh... kasihan sekali yeoja itu, bisa-bisanya terjerat rayuan monyet kunyuk(?).
Eh? Lee Hyukjae, saatnya pembalasan.
Aku terkekeh pelan, saat berjalan menghampiri dua sejoli, yang baru saja menjalin hubungan itu.

“Oppa...” ucapku manja, sambil memeluk tubuh oppaku dari belakang.
“Ji-Hee, kenapa kau ada di sini?”
“Dari tadi aku mencarimu, oppa... Kau akan mengantarku pulang bukan?”
“Pulang saja sendiri.”
Kukerucutkan bibirku, dengan sengaja melirik ke arah Seulra. “Oppa, siapa dia?”
“Aku tidak harus menjawabnya bukan?”
“Aish... kau menyebalkan oppa...” kupukul bahu oppaku pelan.
“Ada apa denganmu?” rasanya aku ingin tertawa saat melihat oppaku memincingkan matanya, dan lebih ingin tertawa keras, saat kulihat wajah Seulra mulai memerah, sepertinya dia salahpaham.
Well, di kampus ini, hanya segelintir orang yang tahu kami adalah adik-kakak, lagipula... jarak usia kami yang hanya terpaut 2 tahun, membuat kami... lebih terlihat seperti sepasang kekasih.
Aku menghela napas pelan. “Ya sudah, aku mau pulang, kau benar-benar tidak mau mengantarku?” tanyaku sedikit manja.
“Tidak, Ji-Hee-ya...”
Dengan cepat, ku kecup pipi kiri oppaku, detik berikutnya, oppa mengecup pipi kananku. Hehehe... perlu kalian ketahui, ini memang sudah menjadi kebiasaan kami dari kecil, saling membalas kecupan masing-masing. Sekilas, kulirik Seulra, sumpah... aku suka ekspresi wajahnya yang berubah tegang, dengan mata yang membelalak lebar. Perutku benar-benar terasa keram, karena menahan tawa.
“Aku pulang dulu oppa, sampai ketemu di rumah.” bisikku tepat di telinga oppaku.
Kusunggingkan sebuah senyuman manis pada Seulra, dan segera berlalu dari hadapan mereka. Hahaha... Lee Hyukjae, pembalasan lebih kejam bukan?
--------------

Ckelekkk...
“Sepertinya tidak ada orang di rumah.” aku berjalan menuju ruang tengah.
Langkahku terhenti saat mendapati Lee Hyukjae, oppaku sedang mencium Seulra di sofa ruang tengah. Mataku membelalak lebar, oppaku? Sejak kapan oppaku jadi seganas itu? Dia... melumat bibir Seulra seolah ingin memakannya bulat-bulat. Ya Tuhan... mereka bahkan tidak sadar akan keberadaanku? Hey! Masih ada yeoja polos sepertiku! Lee Ji-Hee otakmu tidak boleh ikut terkontaminasi. Kukerjapkan mataku beberapa kali.
“Hya! Bisakah tidak berbuat mesum di sini?”
Masih bisa kudengar suara tautan bibir mereka yang terlepas. Perutku rasanya mual, melihat oppaku sendiri melakukan itu secara live, ternyata... benar-benar mengerikan.
“Kau sudah pulang Ji-Hee?” tanya oppaku, dengan suara yang sedikit bergetar. Cih! Merasa bersalah karena telah memberi contoh yang buruk padaku?
“Menurutmu?” tukasku tajam.
“Ehm... Ji-Hee, kau pasti sudah lapar, aku tadi membeli sedikit makanan. Sebentar akan kuhangatkan.” kulihat Seulra yang gugup, berjalan menuju dapur.

Aku melipat tanganku di depan dada, berdiri menatap Seulra, yang sedang sibuk memanaskan makanan.
Oke, Seulra sudah resmi menjadi yeojachingu oppaku sejak 2 bulan yang lalu. Sekalipun, aku tidak pernah merasa... membencinya. Tapi... demi Tuhan... jangan biarkan aku melihat aksi kalian untuk yang kedua kali.
Perlahan aku berjalan menghampiri Seulra.
“Ada yang bisa kubantu?”
“Ji-Hee.” kulihat Seulra tersenyum lembut. “Sebentar lagi sudah selesai, kau bisa ganti baju dulu?”
“Tidak ah, aku malas pergi ke atas.”
“Ehm... Ji-Hee... soal yang tadi... aku minta maaf.”
“Hey! Jangan terlalu dipikirkan, kakak iparku yang cantik.” kupeluk bahunya.
“Ji-Hee-ya... jangan membuatku malu.”
“Kau malu? Oppaku saja selalu bilang pada kami, akan segera meminangmu, so, kenapa harus malu?” ku kerlingkan sebelah mataku padanya, yang sukses membuat wajahnya berubah warna, merah padam.
Kualihkan pandanganku pada suara derap kaki, yang sedang berlari.
Ada apa ini? Kulihat wajah oppaku berubah pucat, tanagnnya menggenggam ponsel di tangannya dengan erat. “Ji-Hee...”
==============

Saat ini, kami berada di depan ruang UGD, rasanya kepalaku di pukul oleh bongkahan batu besar, ada benda kasat mata yang menghimpit dadaku, membuatku merasa sesak napas.
Pintu ruangan keramat itu mulai terbuka.
Aku segera berlari ke arah seorang dokter, yang muncul dari balik pintu itu.
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan tuan Lee.” detik itu juga, kurasakan kakiku tidak bisa menompang berat tubuhku.
Aku tahu, tangan kekar milik oppalah yang menyangga tubuhku.
“Umma...” bisikku lirih, yang tidak mungkin bisa menyembunyikan tiap getaran dalam nada suaraku.
Kulihat Dokter itu menggelangkan kepalanya. “Benturan yang dialaminya cukup keras, saat ini, nyonya Lee dalam keadaan koma.”
Semua pikiranku kosong, saat ini, aku ingin menjerit, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku ingin menangis, tapi... mataku bahkan tidak mampu mengeluarkan air mata.
===============

Aku berdiri di depan pusaran makam appa.
Sejak kemarin, baru kali ini aku bisa mengeluarkan air mataku, saat melihat dengan mata kepalaku sendiri, tubuh appaku yang terbaring di atas peti matinya, dan mulai di timbun oleh tanah.
Perlahan aku mendongak, menatap langit biru, untuk sesaat, aku bisa mengingat wajah appa yang tersenyum, diantara langit biru yang cerah. Seolah memberikan sebuah dorongan semangat, agar aku bisa lebih tegar menghadapi semua ini.
Appa... di hatiku, aku akan selalu mencintaimu. Kusunggingkan sebuah senyuman manis kearah langit, berusaha memberitahu appa, aku akan baik-baik saja. Meski saat ini, rasa sesak masih terus menghimpit rongga dadaku.
==============

“Satu bulan, delapan hari.” gumamku lirih, “Umma, kau masih ingin tidur berapa lama?” kugenggam tangan umma, perlahan kudekatkan pada pipi kiriku. “Umma... aku...” kutarik napas dalam-dalam. “Tadi pagi, lagi-lagi oppa tidak bisa memasang dasinya dengan benar. Untung ada Seulra, jadi aku terbebas dari tugas membosankan itu. Umma... cepatlah bangun, aku rindu pelukanmu, aku rindu suaramu saat memarahi kami yang sedang bertengkar, aku rindu senyumanmu.” kukecup pipi umma dengan lembut. “Saranghae...” bisikku tepat di telinga umma.

Ckelekkk...
Aku tidak bergeming, saat mendengar suara pintu yang dibuka.
“Ji-Hee-ya... kau sudah makan?” suara lembut Seulra, memaksaku untuk mendongak, mengalihkan pandangan dari wajah umma.
“Sudah...”
“Tadi pagi?” potong Seulra. “Aku mengerti kondisimu saat ini, tapi kau juga harus mengerti kondisi tubuhmu.” Seulra menarik lenganku lembut. “Kita pergi ke kantin, kau harus makan, aku tidak mau kau jatuh sakit.”
“Cerewet.” kujulurkan lidahku padanya.
“Aku harus cerewet, kalau punya adik keras kepala sepertimu.”
“Cih! Bilang saja otakmu sudah diracuni oleh kunyuk itu.”
“Yang kau bilang 'kunyuk itu' adalah oppamu sendiri ingat itu.”
Aku hanya bisa mendengus sebal, sejak kapan Seulra jadi pintar seperti ini?
--------------

Aku dan Seulra kembali ke ruang rawat umma, dan kalian tahu apa yang menyambut kami? Beberapa perawat sedang hilir-mudik kamar umma, dengan cepat aku menarik lengan salah satu perawat.
“A... apa yang terjadi? Kenapa kalian ada di kamar ummaku?”
“Oh... nona Lee, kau tidak perlu cemas, nyonya Lee baru saja sadar dari komanya.”
Kalian tahu apa yang kurasakan sekarang? Sebuah kelegaan luar biasa muncul dalam benakku. Tanpa sadar aku telah menitikan air mata, kemudian berlari ke ruang rawat umma, untuk memastikan dengan mata kepalaku sendiri.

Wajah yang sama, meski terlihat lebih kurus dan sedikit pucat. Senyum yang sama, meski tak tidak seceria dulu. Dengan cepat aku memeluk tubuh umma, yang terasa lebih kurus.
“Ji-Hee-ya... maaf membuatmu khawatir.” bisik umma dengan suara yang sedikit serak. Aku hanya bisa menggelengkan kepala pelan, kembali memeluk tubuh umma. “Hyukie...” dengan cepat aku menoleh ke belakang, benar saja, oppaku sudah berdiri di ambang pintu, matanya memerah, namun bibirnya menyungingkan sebuah senyuman manis.
“Hya! Lee Ji-Hee, kau mau menyabotase nyonya Lee? Bahkan Seulra yang sejak tadi ada di ruangan ini, tidak punya kesempatan untuk memeluknya.”
Aku hanya menjulurkan lidah, kemudian mengeser tubuhku, memberi kesempatan pada mereka.

3 Jam Kemudian...

“Umma, kenapa terus menatapku seperti itu?” umma hanya tersenyum lembut.
“Ji-Hee, bisa tolong ambilkan umma minum?”
“Ne...” aku beranjak dari kursiku.
Baru beberapa langkah, kudengar umma terbatuk, dengan cepat aku langsung mengambil air dan berbalik kembali.
“Umma, mana yang sakit?” suara oppa terdengar sangat cemas. Kulihat umma hanya menggelengkan kepala. Detik itu juga, kusodorkan gelas berisi air di tanganku ke arah oppa.
Semuanya terjadi begitu cepat, Hyukie oppa menjatuhkan gelas di tangannya.
Aku membelalakkan mata lebar, tubuhku membeku, suaraku tercekat di tenggorokan, bisa kudengar teriakan Seulra, yang dengan panik keluar dari kamar, memanggil-manggil dokter.
“Maaf...” tubuhku terhuyung, saat seorang dokter berusaha menangani umma.
Jantungku berdetak kencang, masih bisa kulihat tetesan darah segar, yang menyembur, keluar dari mulut umma.
Aku bisa merasakannya, umma menatapku dan oppa secara bergantian, sebuah senyuman kecil terulas di sudut bibirnya, yang masih di penuhi oleh darah segar. Detik berikutnya, kulihat umma mulai tenang, perlahan matanya mulai terpejam. Aku menatap wajah Dokter itu lekat-lekat.
“Andweee...” teriakku saat dokter itu menggelengkan kepalanya pelan.
==============

Aku berdiri di balkon kamarku, menatap langit biru, mencoba menerka arti dari senyuman terakhir dari umma. Untuk sesaat aku mengingat wajah appa dan umma, tercetak jelas diantara awan-awan, membuatku tanpa sadar menyungingkan sebuah senyuman, penuh dengan ketulusan.
Umma... kau sudah bertemu dengan appa? Beristirahatlah dengan tenang, aku dan oppa pasti bisa melalui semua ini. Karena... kalian selalu ada di hati kami.
==============

Dua Tahun Kemudian...

Kalian tahu, aku punya namjachigu sekarang, dia teman satu angkatan oppaku, namanya Jung Yunho.
Hah... rasanya Yunho oppa selalu bisa mengisi tiap kekosongan di hatiku.
“Ji-Hee, bagaimana gaun yang ini?” aku menoleh, melihat gaun yang saat ini melekat di tubuh Seulra.
“Bagus, kau pilih itu saja.”
“Apa oppamu akan menyukainya.”
“Apapun yang kau kenakan, oppa pasti menyukainya.” ucapku sedikit menggoda.
Ah... apa aku sudah memberi tahu kalian? Saat ini aku ada di sebuah butik, mengantarkan Seulra untuk memilih baju pengantin. Hehehe... akhirnya, dua minggu lagi adalah hari pernikahan mereka.
Bahagia? Tentu saja, oppaku akan menikah dengan orang yang di cintainya, bagaimana mungkin aku tidak bahagia?

“Kita akan kemana lagi?” tanyaku dengan nada lemas.
Seulra hanya terkekeh pelan, “Kita akan makan, Hyukie oppa sedang menunggu kita di cafe seberang jalan.”
“Mwo? Aish! Awas saja dia, sengaja menyiksaku ee...?”
“Kau kan hanya menemaniku, kami tidak benar-benar mau menyiksamu.”
“Aish... kau selalu saja membelanya, mentang-menatang calon istrinya.”
“Ji-Hee...”
Aku tertawa lepas saat melihat semburat merah di kedua pipinya.
“Chagiya... Ji-Hee-ya...” aku menggembungkan pipiku, saat melihat oppaku yang babo itu melambaikan tangannya, di sertai dengan senyuman manisnya.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang, rasanya aku tidak bisa bernapas, mataku memanas, bisa kulihat Seulra pingsan di sampingku. Tapi aku masih membeku di tempatku. “O... ppa...” hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari mulutku.
otakku masih bisa mengingat dengan jelas, saat tubuh oppa di hempas sebuah mobil, dengan kecepatan tinggi.
==============

Sudah tiga bulan semenjak oppa pergi dalam hidup kami. Sampai saat ini, aku masih hidup dengan baik.
Seulra, sekarang dia jauh lebih pendiam, hampir setiap hari dia menginap di rumah, meskipun dengan kepergian oppa, dia masih menganggapku sebagai adiknya. Jujur saja, aku benar-benar terharu dengan ketulusan hatinya.

Ting Tong... Ting Tong...
Aku berjalan kearah pintu.
Ckelekkk...
“Yunho oppa? Kenapa malam-malam...” kata-kataku terhenti, karena dengan cepat Yunho oppa telah mendekap tubuhku dengan erat. “Oppa... kau kenapa?”
“Ji-Hee...” suaranya bergetar. Ada apa ini sebenarnya? “Kumohon... jangan menyiksaku lagi.”
“Oppa, aku tidak mengerti apa mak...”
Aku membelalakkan mata lebar, saat kurasakan bibir Yunho oppa menciumku dengan kasar. Dengan sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya.
“Oppa! Apa yang...”
Sekali lagi kata-kataku terpotong, karena dia mulai meyerangku lagi, tubuhku memebentur dinding. Aku berusaha memberontak, mendorong tubuhnya, namun sia-sia, tenaganya jauh lebih besar dariku. Ya Tuhan... ada apa dengannya? Kenapa namjachiguku jadi seperti ini?
“Oppa! Tidak!” aku menjerit keras, saat kurasakan bibirnya menyentuh leherku. “Oppa... kumohon... jangan...” suaraku tersenggal, “Yunho oppa... ada apa denganmu? Ini... seperti bukan dirimu.” aku tidak bisa menahan isak-tangisku.
Detik itu juga Yunho oppa seolah tersadar, matanya menatapku lekat-lekat.
“Ji-Hee...” lagi-lagi kudengar suaranya bergetar. “Maaf... aku... tadi... lepas kontrol.” dia mendekap tubuhku dengan erat. “Maaf... aku telah menyakitimu.” kutumpahkan air mataku di dadanya.

“Ji-Hee... kita akhiri hubungan kita.” aku tersentak mendengar kata-katanya. Apa salahku? “Akhir-akhir ini aku mulai kacau...” kulihat Yunho oppa memejamkan matanya. “Aku... tidak bisa mengendalikan diri, saat berada di dekatmu. Aku... tidak ingin menyakitimu.” tangannya merengkuh wajahku, “Aku sungguh-sungguh mencintaimu, tapi...” matanya menatapku dalam. “Ini yang terbaik. Kita berpisah.” aku hanya diam, hanya air mataku yang terus mengalir.
Aku masih membeku, saat menyadari wajahnya semakin mendekat, bisa kurasakan hembusan napasnya yang mulai membentur wajahku, hanya tinggal beberapa mili meter, saat dengan sengaja, aku memalingkan wajahku. Bisa kudengar suara helaan napas yang berat, keluar dari mulutnya.
“Ji-Hee-ya... maafkan aku...” aku masih membisu, menundukkan kepala, bahkan aku tidak memberikan reaksi apapun, saat bibirnya mengecup pucuk kepalaku.
Aku masih bisa melihat punggunya -punggung orang yang sampai detik ini sangat kucintai, tapi membuatku merasakan kekecewaan yang sangat dalam- mulai menjauh, perlahan keluar dari rumahku.
Aku duduk di sofa ruang tengah, mendekap tubuhku dengan erat, hari ini... aku benar-benar merasakan sebuah kehampaan dalam hidupku.

== -End of Flashback- ==


* Author POV *


Ji-Hee menghela napas pelan, kembali melemparkan pandangan kearah langit. Mencoba mencari ketenangan, dengan membayangkan senyuman dari orang-orang yang disayanginya. Sedangkan Donghae, dia hanya mampu menatap wajah yeoja di sampingnya itu.
“Boleh aku bertanya?” Ji-Hee megigit bibir bawahnya.
“Tentu saja boleh.”
“Kau akan menjawab dengan jujur?”
“Kau meragukanku?”
Ji-Hee menatap bola mata Donghae dalam, kemudian menggelengkan kepalanya pelan. “Aku terlalu bodoh bukan?”
“Tidak juga.”
Ji-Hee mengerutkan keningnya, “Bisa beri aku alasan untuk jawabanmu?”
Mendengar kata-kata Ji-Hee, Donghae tersenyum lembut. “Kau tahu? Dari tadi, aku menunggumu untuk meloncat ke bawah.”
“Meloncat? Kenapa aku harus meloncat?”
“Kau bahkan tidak berfikir untuk mengakhiri hidupmu?”
Ji-Hee membelalakkan matanya lebar. “Mwo? Aku tidak mungkin melakukan itu!”
Donghae mengacak rambut Ji-Hee, “Sudah kubilang, kau bukan yeoja bodoh.”
Ji-Hee menundukkan kepalanya, dan tersenyum simpul. “Kujamin, aku tidak akan pernah melakukan hal konyol seperti itu.” gumamnya lirih.
Donghae sedikit membungkukkan badannya, mencoba mencari wajah Ji-Hee. “Aku tahu.” bisiknya lirih.

Entah dorongan dari mana, tiba-tiba tangan Donghae terulur, meraih dagu Ji-Hee. Pandangan mata keduanya bertemu, cukup lama, hingga mampu memberi keduanya kesempatan untuk berfikir, mencari, dan menyelemi lebih dalam, kenapa ada keengganan di hati masing-masing, untuk melepaskan tatapan itu.
Chu~
Ji-Hee membelalakkan matanya, saat menyadari bibirnya telah menempel dengan bibir namja yang ada di hadapannya. Perlahan, namun pasti, Dongahe mulai melumat bibir Ji-Hee dengan lembut.
Otak Ji-Hee mulai di penuhi dengan berbagai pertanyaan. Kenapa dia tidak memberontak? Kenapa tidak ada perasaan marah, saat di perlakukan seperti itu? Oleh orang asing? Bahkan... kenapa dia merasa... menikmati tiap kecupan yang diberikan oleh Donghae?

Sejurus kemudian, Donghae melepaskan ciumannya. Menatap kedua bola mata Ji-Hee lekat-lekat, Donghae menikmati sorotan yang penuh tanda tanya, yang tercetak jelas di mata Ji-Hee.
“Ke... kenapa kau menciumku?” tanya Ji-Hee, dengan perasaan yang sulit untuk di gambarkan.
Sebuah senyuma tersungging di bibir Donghae. “Aku harus pergi.” bisik Donghae tepat di telinga kiri Ji-Hee.
Ji-He yang masih setengah sadar, hanya bisa mengerjapkan mata, tanpa bisa merespon dengan benar semua tindakan dari Donghae.

Donghae mulai berjalan menjauh, meninggalkan Ji-Hee yang masih bergelut dengan pikirannya sendiri.
“Mulai saat ini sepertinya tugasku akan bertambah.” gumam Donghae, sesaat kemudian, dia membalikkan tubuhnya, “Ya... aku akan menugasi diriku sendiri, untuk selalu mengawasimu. Sampai saatnya tiba, aku akan menjemputmu.” Donghae mulai mengepakkan sayapnya, “Lee Ji-Hee... Oh sial! Ada yang bisa memberitahuku? Alasan yang tepat kenapa aku, Donghae, yang notabene adalah malaikat maut, bisa menciumnya seperti itu?” tanpa disadari, sebuah senyuman telah terukir di bibir Donghae.


*** TBC ***

Wkakaka...
Ya Tuhan... sepertinya aku mulai tertular monyet kunyuk dah *geleng2 pala*
Well, special buat Rinko ma Link *senyum misterius*
Gaje? Emang! Sebenernya aku sendiri gak tahu mau nulis apaan, coz tiba2 aja ting... pengen bikin ff fantasi hohoho...
Dan lagi-lagi ting... aku pengen bikin JiHae moment, coz aku bener2 lagi tergila-gila ma JiHae couple wkakaka... #Plakkk...
Thanks buat Link, ma Uenchan, yg selalu ngasih vitamin 'JiHae' buatku hohoho...
Rinko... aku masih nagih YunJiHae lho... fufufu~
Well, *Senyum malu-malu* adakah yang mau bikinin aku JiHae, JiYun, or YunJiHae? *Ngarep!*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar